BAB
I
A. Latar Belakang
GERD
(Gastroesofageal Reflux Disease)
adalah suatu penyakit yang jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena
bila belum menimbulkan keluhan yang berat seperti refluks esofagitis dokter
belum bisa mendiagnosa. Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke
dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada orang, terutama setelah
makan (Asroel, 2002).
GERD
adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat. Berbagai
survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heartburn (rasa panas membakar di daerah retrosternal), suatu
keluhan klasik GERD. Di Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak
ditemukan. Hanya sebagaian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena
pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan
antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan
endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke dokter
(Djajapranata, 2001).
Prevalensi
PRG bervariasi tergantung letak geografis, tetapi angka tertinggi terjadi di
Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong
meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Sedangkan berdasarkan data
salah satu rumah sakit di Indonesi, RSCM menunjukkan peningkatan signifikan
dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun. Asian Burning Desire Survey
(2006) membuktikan bahwa pemahaman tentang GERD pada populasi di Indonesia
adalah yang terendah di Asia Pasifik, hanya sekitar 1%, sedangkan di Taiwan
mencapai 81% dan Hongkong 66%.
Antara
laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu jelas,
kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive reflux
disease lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin bukan
menjadi faktor utama dalam perkembangan PRG, namun Barrett’s esophagus lebih
sering terjadi pada laki-laki.
Gastroesophageal reflux disease (GERD)
terdiri dari spektrum gangguan yang terkait, termasuk hernia hiatus, reflux
disease dengan gejala yang terkait, esofagitis erosif, striktur peptikum,
Barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. Selain beberapa patofisiologi
dan hubungan antara beberapa gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya
komorbiditas pada pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang
serupa diantara mereka.
B. Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami definisi, etiologi,
patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, terapi, dan komplikasi
dari GERD.
2.
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien
GERD.
BAB
II
A.
DEFINISI
Penyakit refluks
gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan
sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke
dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome)
di esofagus maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang
normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan.
Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik
primer, isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke
lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak
menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan refluks fisiologis.
Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi
berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung
untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan
esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi
epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).
B.
ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1.
Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2.
Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3.
Ketahanan epitel esofagus menurun
4.
Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph
<2, adanya pepsin, garam empedu, HCL.
5.
Kelainan pada lambung
6.
Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7.
Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan
hipersensitivitas
8.
Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga
membuat refluks
9.
Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman
berkafein dan berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan
dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek
antikolinergik (seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium,
progesteron, dan nitrat.
10.
Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
(Yusuf, 2009).
C.
PATOFISIOLOGI
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona
tekanan tinggi (high pressure zone)
yang dihasilkan oleh kontraksi Lower
esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan,
atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik
dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada
atau sangat rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan motilitas
/ pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot
pengatur (sfingter) disebut LES, yang
fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah
dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD
akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot
tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau asam
lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya (Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan
antara faktor defensif dari esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat.
Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks, bersihan
asam dari lumen esophagus, dan ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a. Pemisah
antirefluks
Pemeran
terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES
yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus
hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal
antikolinergik, beta adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan,
peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
b. Bersihan
asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor
yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks sebagian besar
bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan.
c. Ketahanan
epithelial esophagus
Berbeda
dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan ephitelial esophagus terdiri
dari :
1.
Membran sel
2.
Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus
3.
Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien,
oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4.
Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk
mentransport ion H+ .
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan
isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya
refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh
peningkatan tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus
dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika
isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan
peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas
relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk
ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002).
D. TANDA DAN GEJALA
Manifestasi
klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal
(ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu :
1. Heart Burn,
yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah gejala
tersering.
2. Regurgitasi,
yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut terasa
asam dan pahit.
3. Disfagia.
Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009)
Gejala
Atipikal :
1. Batuk
kronik dan kadang wheezing
2. Suara
serak
3. Pneumonia
4. Fibrosis
paru
5. Bronkiektasis
6. Nyeri
dada nonkardiak (Yusuf, 2009).
Gejala lain :
1. Penurunan
berat badan
2. Anemia
3. Hematemesis
atau melena
4. Odinofagia
(Bestari, 2011).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endoskopi
Dewasa ini
endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien
dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai
kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini
merupakan biopsi. Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan
berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).
2. Radiologi
Pemeriksaan
ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus
esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan
refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang
lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.
3. Tes
Provokatif
a. Tes
Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap
asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes
Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa
menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada
asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b. Tes
Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan
obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan dosis 80 µg/kg berat badan
untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak
peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada asal
esofagus.
4. Pengukuran
pH dan tekanan esofagus
Pengukuran
pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH dibawah 4
pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk
memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat
secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik
esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang
dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH
esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai
gold standar untuk memastikan adanya PRGE.
5. Tes
Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini
menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan
sifatnya non invasif (Djajapranata, 2001).
6. Pemeriksaaan
Esofagogram
Pemeriksaan
ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi,
dan striktur.
7. Tes
PPI
Diagnosis
ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga
menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini
mempunyai sensitivitas 75%.
8. Manometri
esofagus
Tes
ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien
NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas
esofagus.
9. Histopatologi
Pemeriksaan
untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk
memastikan NERD (Yusuf, 2009).
F.
TERAPI
Terapi GERD ditujukan
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien, mengurangi frekuensi
atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa
yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi. Terapi diarahkan pada
peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan atau mengurangi
faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa.
1.
Modifikasi Gaya Hidup
a.
Tidak merokok
b.
Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c.
Tidak minum alkohol
d.
Diet rendah lemak
e.
Hindari mengangkat barang berat
f.
Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g.
Jangan makan terlalu kenyang
h.
Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
2.
Terapi Endoskopik.
Terapi
ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic
suturing, dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan
memanaskan gastroesophageal junction. Tujuan dari jenis terapi ini
adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan kualitas hidup, dan
mengurangi reflux.
3.
Terapi medika mentosa. Sampai pada saat
ini dasar yang digunakan untuk terapi ini adalah supresi pengeluaran asam
lambung. Ada dua pendekatan yang biasa dilakukan pada terapi medika mentosa:
a.
Step up
Awal pengobatan pasien diberikan obat-obat yang kurang
kuat menekan sekresi asam seperti antacid, antagonis reseptor H2 ( simetidin,
ranitidine, famotidin, nizatidin) atau golongan prokinetik
(metoklorpamid,domperidon,cisaprid) bila gagal berikan obat-obat supresi asam
yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (PPI).
b.
Step down
Pada terapi ini pasien langsung diberikan PPI dan
setelah berhasil lanjutkan dengan supresi asam yang lebih lemah untuk
pemeliharaan.
4. Terapi
terhadap Komplikasi
Komplikasi
yang sering terjadi adalah perdarahan dan striktur. Bila terjadi rangsangan
asam lambung yang kronik dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari squamous
menjadi kolumnar yang metaplastik sebagai esophagus barret’s (premaligna) dan
dapat menjadi karsinoma barret’s esophagus
a.
Striktur esophagus
Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter strikturnya
kurang dari 13 mm maka dapat dilakukan dilatasi busi, bila gagal juga
lakukanlah operasi.
b.
Barret’s esophagus
Bila pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang
dilakukan adalah terapi bedah (fundoskopi). Selain terapi bedah dapat juga
dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan energy radiofrekuensi, plikasi
gastric luminal atau dengan implantasi endoskopi) walapun cara ini masih dalam
penelitian.
(Djajapranata, 2001).
G.
KOMPLIKASI
Komplikasi GERD antara lain :
1. Esofagus
barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
2. Esofagitis
ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur
esofagus
5. Aspirasi
(Asroel,
2002).
H. PENGKAJIAN
a. Keadaan
umum
Meliputi kondisi seperti tingkat
ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan respon verbal
klien.
b. Tanda-tanda
vital
Meliputi pemeriksaan :
1. Tekanan
darah : sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan
kondisi patologis.
2. Pulse
rate
3. Respiratory
rate
4. Suhu
c. Keluhan
utama
Dikaji Awitan, durasi, kualitas dan
karakteristik, tingkat keperahan. Lokasi, faktor pencetus, manifestasi yang
berhubungan :
Keluhan tipikal (esofagus) : heartburn, regurgitasi, dan disfagia.
Keluhan atipikal (eskstraesofagus)
: batuk kronik, suara serak, pneumonia, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri
dada nonkardiak.
Keluhan lain : penurunan berat
badan, anemia, hematemesis atau melena, odinofagia.
d. Riwayat
kesehatan dahulu
1) Penyakit
gastrointestinal lain
2) Obat-obatan
yang mempengaruhi asam lambung
3) Alergi/reaksi
respon imun
e. Riwayat
penyakit keluarga
f. Pola
Fungsi Keperawatan
1. Aktivitas dan istirahat
Data
Subyektif:
Klien mengatakan agak
sulit beraktivitas karena nyeri di daerah epigastrium, seperti terbakar.
Data
obyektif :
Tidak terjadi perubahan
tingkat kesadaran.
Tidak terjadi perubahan
tonus otot.
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
Klien
mengatakan bahwa ia tidak mengalami demam.
Data Obyektif:
Suhu
tubuh normal (36,5-37,5 oC)
Kadar
WBC meningkat.
3. Eliminasi
Data Subyektif:
Klien
mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif:
Bising
usus menurun (<12x/menit)
4. Makan/ minum
Data Subyektif:
Klien
mengatakan mengalami mual muntah.
Klien
mengatakan tidak nafsu makan.
Klien
mengatakan susah menelan.
Klien
mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
Klien
tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
5. Sensori neural
Data Subyektif:
Klien
mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data obyektif:
Status
mental baik.
6.
Nyeri /
kenyamanan
Data Subyektif:
Klien
mengatakan mengalami nyeri pada daerah epigastrium.
P
: nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh
cairan
refluks.
Q
: klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R
: klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S
: klien mengatakan skala nyeri 1-10.
T
: klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan
makanan. Nyeri pada dada menetap.
Data Obyektif:
Klien
tampak meringis kesakitan.
Klien
tampak memegang bagian yang nyeri.
Tekanan
darah klien meningkat
Klien
tampak gelisah
7. Respirasi
Data Subyektif :
Klien
mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
Klien
mengatakan mengalami batuk
Data
obyektif:
Terlihat ada
sesak napas.
Terdapat
penggunaan otot bantu napas.
Frekuensi tidak berada pada batas
normal yaitu pada bayi >30 40 x/mnt dan pada anak-anak > 20-26 x/menit.
Klien terlihat batuk.
8. Keamanan
Data
Subyektif :
Klien mengatakan merasa
cemas
Data
obyektif:
Klien tampak gelisah
9. Interaksi sosial
Data
Subyektif:
Klien mengatakan
suaranya serak
Klien mengatakan agak susah berbicara
dengan orang lain karena suaranya tidak jelas terdengar.
Data
obyektif:
Suara klien terdengar
serak
Suara klien tidak
terdengar jelas.
g.
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Keadaan umum ini dapat meliputi kesan
keadaan sakit termasuk ekspresi wajah dan posisi pasien, kesadaran yang dapat
meliputi penilaian secara kualitatif seperti compos mentis, apathis, somnolent,
sopor, koma dan delirium.
2. Pemeriksaan tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi,
irama, kualitas), tekanan darah, pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola
pernafasan) dan suhu tubuh.
3. Pemeriksaan kulit, rambut dan kelenjar getah bening.
Kulit : Warna (meliputi pigmentasi, sianosis, ikterus, pucat, eritema dan
lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema. Rambut : Dapat
dinilai dari warna, kelebatan, distribusi dan karakteristik lain. Kelenjar
getah bening : Dapat dinilai dari bentuknya serta tanda-tanda radang yang dapat
dinilai di daerah servikal anterior, inguinal, oksipital dan retroaurikuler.
4. Pemeriksaan kepala dan leher Kepala : Dapat dinilai
dari bentuk dan ukuran kepala, rambut dan kulit kepala, ubun-ubun (fontanel),
wajahnya asimetris atau ada/tidaknya pembengkakan, mata dilihat dari visus,
palpebrae, alis bulu mata, konjungtiva, sklera, pupil, lensa, pada bagian
telinga dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran timpani,
mastoid, ketajaman pendengaran, hidung dan mulut ada tidaknya trismus
(kesukaran membuka mulut), bibir, gusi, ada tidaknya tanda radang, lidah,
salivasi. Leher : Kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher, dengan ditentukan
ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada tidaknya nyeri telan
5. Pemeriksaan dada : Yang diperiksa pada pemeriksaan dada
adalah organ paru dan jantung. Secara umum ditanyakan bentuk dadanya, keadaan
paru yang meliputi simetris apa tidaknya, pergerakan nafas, ada/tidaknya
fremitus suara, krepitasi serta dapat dilihat batas pada saat perkusi
didapatkan bunyi perkusinya, bagaimana(hipersonor atau timpani), apabila udara
di paru atau pleura bertambah, redup atau pekak, apabila terjadi konsolidasi
jarngan paru, dan lain-lain serta pada saat auskultasi paru dapat ditentukan
suara nafas normal atau tambahan seperti ronchi, basah dan kering, krepitasi,
bunyi gesekan dan lain-lai pada daerah lobus kanan atas, lobus kiri bawah,
kemudian pada pemeriksaan jantung dapat diperiksa tentang denyut apeks/iktus kordis dan aktivitas ventrikel, getaran
bising (thriil),
bunyi jantung, atau bising jantung dan lain-lain
6. Pemeriksaan abdomen : data yang dikumpulkan adalah data
pemeriksaan tentang ukuran atau bentuk perut, dinding perut, bising usus,
adanya ketegangan dinding perut atau adanya nyeri tekan serta dilakukan palpasi
pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing yang ditentukan ada tidaknya
dan pembesaran pada organ tersebut, kemudian pemeriksaan pada daerah anus,
rektum serta genetalianya.
7. Pemeriksaan anggota gerak dan neurologis : diperiksa
adanya rentang gerak, keseimbangan dan gaya berjalan, genggaman tangan, otot
kaki, dan lain-lain.
J.
DIAGNOSA
1. Risiko
aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan
glotis terhadap cairan refluks.
2. Defisit
volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah /
pengeluaran yang berlebihan.
3. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4. Nyeri
akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus.
5. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan refluks cairan ke laring dan
tenggorokan.
6. Gangguan
menelan berhubungan dengan penyempitan/striktur pada esophagus akibat gastroesofageal reflux disease.
7.
Ansietas berhubungan dengan proses
penyakit.
K.
INTERVENSI
No.
|
Diagnosa
|
Perencanaan
|
Rasional
|
|
Kriteria
Hasil
|
Intervensi
|
|||
1.
|
Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refleks laring dan glotis terhadap cairan refluks.
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama ...x 24 jam masalah aspirasi
pada klien dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Status hasil:
Klien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi pernafasan
normal
skala 4
Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampu
melakukan oral hygiene
skala 4
Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada
suara nafas abnormal skala 4
|
1.
Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan.
2.
Naikkan kepala 30-45 derajat
setelah makan.
3.
Potong makanan kecil kecil.
4.
Hindari makan kalau residu masih
banyak
|
1. Meningkatkan
ekspansi paru maksimal dan alat pembersihan jalan napas.
2. Meningkatkan
pengisian udara seluruh segmen paru, memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
3. Menghindari
terjadinya risiko aspirasi yang terlalu tinggi.
4. Dapat
membatasi ekspansi gastroesofagus
|
2.
|
Defisit
volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah /
pengeluaran yang berlebihan.
Definisi: penurunan
cairan intravaskuler, interstisial dan atau interseluler. Mengarah ke
dehidrasi kehilangan cairan dengan pengeluaran sodium.
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x
24 jam, defisit volume cairan pada
klien dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia BB,
BJ urine normal skala 4
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor
kulit baik dan tidak ada rasa haus yang berlebihan skala 4
Berat badan stabil skala 4
Hematokrit menurun skala 4
Tidak ada ascites skala 4
|
1. Monitor
status hidrasi.
2. Kaji
tanda vital, catat perubahan TD, takikardi, turgor kulit dan kelembaban
membran mukosa.
3. Berikan
cairan tambahan IV sesuai indikasi.
4. Dorong
masukan oral bila mampu
|
1. Perubahan
pada kapasitas gaster dan mual sangat mempengaruhi masukan dan kebutuahan
cairan, peningkatan risiko dehidrasi.
2. Indikator
dehidrasi/hipovolemia, keadekuatan penggantian cairan.
3. Menggantikan
kehilangan cairan dan memperbaiki keseimbangan cairan dalam fase segera dan
pasien mampu memenuhi cairan per oral.
4. Memungkinkan
penghentian tindakan dukungan cairan infasif dan kembali ke normal.
|
3.
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual dan muntah.
Definisi: intake nutrisi tidak cukup untuk
keperluan metabolisme tubuh
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama .....x 24 jam,
nutrisi pada klien dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Status hasil:
Peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan skala 4
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
skala 4
Tidak ada penurunan berat badan yang berarti skala 4
Mengidentifikasi skala nutrisi
skala 4
Stamina dan energi ada skala 4
|
1. Diskusikan pada pasien makanan yang disukainya dan
makanan yang tidak disukainya.
2. Buat
jadwal masukan tiap jam. Anjurkan mengukur cairan/makanan dan minum sedikit
demi sedikit atau makan secara perlahan.
3. Beritahu
pasien untuk duduk saat makan/minum.
4. Tekankan
pentingnya menyadari kenyang dan menghentikan masukan.
5. Timbang
berat badan tiap hari. Buat jadwal teratur setelah pulang.
6. Kolaborasi
dengan ahli gizi
|
1. Dengan
memilih makanan yang disukai pasien maka selera makan si pasien akan
bertambah dan dapat mengurangi rasa mual dan muntah.
2. Setelah
tindakan pembagian, kapasitas gaster menurun kurang dari 50 ml, sehingga
perlu makan sedikit/sering.
3. Menurunkan
kemungkinan aspirasi.
4. Makan
berlebihan dapat mengakibatkan mual dan muntah
5. Pengawasan
kehilangan dan alat pengkajian kebutuhan
nutrisi
6. Perlu
bantuan dalam perencanaan diet yang memenuhi kebutuhan nutrisi
|
4
|
Nyeri
akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama ......x 24 jam, pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan
tanda
Tanda vital dalam
rentang normal
|
1. Kurangi
faktor presipitasi nyeri
2. Tingkatkan
istirahat
3. Berikan
informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang, dan antisipasi ketidaknyamanan prosedur.
4. Ajarkan
tentang teknik nonfarmakologi seperti teknik relaksasi nafas dalam, distraksi
dan kompres hangat/dingin.
5. Berikan
analgesik untuk mengurangi nyeri
|
1. Dengan
berkurangnya faktor pencetus nyeri maka pasien tidak terlalu merasakan
intensitas nyeri.
2. Menurunkan
tegangan abdomen dan meningkatkan rasa kontrol.
3. Pemberian
informasi yang berulang dapat mengurangi rasa kecemasan pasien terhadap rasa
nyerinya.
4. Meningkatkan
relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
5. Perlu
penanganan obat untuk memudahkan istirahat adekuat dan penyembuhan
|
5
|
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan refluks cairan ke laring dan tenggorokan
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ......x 24 jam klien dapat menunjukkan
kriteria hasil:
Status hasil:
jalan nafas yang paten (tidak tercekik, irama nafas
dan pola nafas dalam rentang normal) skala 4
|
1.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2.
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
3.
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
|
1. Peninggian
kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan
gravitasi.
2. Fisioterapi
dada dapat mengeluarkan sisa sekret yang masih tertinggal.
3. Keseimbangan
akan stabil apabila antara pemasukan dan pengeluaran diatur
|
6.
|
Gangguan Menelan berhubungan dengan penyempitan/strikture pada esophagus
akibat gastroesophegal reflux disease
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama .....x 24 jam maka gangguan menelan pada klien
dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Status hasil:
Klien dapat menelan
makanan dengan sempurna skala 4
|
1. Bantu
pasien dengan mengontrol kepala
2. Letakkan
pasien pada posisi duduk/tegak selama dan setelah makan.
3. Berikan
makan perlahan pada lingkungan yang tenang
|
1. Menetralkan
hiperekstensi , membantu mencegah aspirasi dan meningkatkan kemampuan untuk
menelan.
2. Menggunakan
gravitasi untuk memudahkan proses menelan.
3. Pasien
dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adnya gangguan distraksi dari
luar
|
7.
|
Ansietas
berhubungan dengan proses penyakit
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x
24 jam, ansietas pada klien dapat
diatasi dengan kriteria hasil:
Menyingkirkan tanda kecemasan skala 4
Merencanakan strategi koping skala 4
Intensitas kecemasan
skala4
Mencari informasi untuk menurunkan cemas skala 4
|
1.
Dorong pasien untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan.
2.
Berikan informasi yang dapat
dipercaya dan konsisten dan dukungan untuk orang terdekat.
3.
Tingkatkan rasa tenang dan
lingkungan tenang.
4.
Pertahankan kontak sering dengan pasien,
bicara dengan menyentuh bila tepat.
|
1. Memberikan
kesempatan untuk memeriksa rasa takut realistis serta kesalahan konsep
tentang diagnosis.
2. Memungkinkan
untuk interaksi interpersonal lebih baik dan menurunkan rasa ansietas dan
rasa takut.
3. Memudahkan
istirahat, menghemat energi dan meningkatkan kemampuan koping.
4. Memberikan
keyakinan bahwa pasien tidak sendiri atau ditolak, mengembangkan kepercayaan.
|
L. Evaluasi
a. Risiko
aspirasi pada klien dapat diatasi
b. Defisit
volume cairan dapat diatasi.
c. Ketidakseimbangan nutrisi pada pasien GERD dapat ditangani.
d. Nyeri
akut pada pasien dapat diatasi.
e. Bersihan
jalan nafas efektif.
f. Gangguan
menelan pada klien dapat diatasi
g. Ansietas
pada pasien dapat diatasi.
BAB III
A.
KESIMPULAN
1. Gastroesofageal reflux disease
(GERD) adalah suatu kondisi dimana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus
sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada,
regurgitasi, dan komplikasi. Manifestasi klinis GERD meliputi gejala tipikal
(esofagus) dan atipikal (ekstraesofagus). Faktor yang berperan untuk terjadinya
GERD yaitu mekanisme antirefluks, kandungan cairan lambung, mekanisme bersihan
oleh esofagus, dan resistensi sel epitel esofagus. Untuk menegakkan diagnosis
GERD dapat ditegakkan berdasarkan analisa gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya endoskopi,
radiologi, pengukuran pH, tes perfusi Berstein, tes gastro-esophageal
scintigraphy.
Komplikasi
penyakit GERD diantaranya Esofagus barret, esofagitis ulseratif, perdarahan,
striktur esofagus, dan aspirasi. GERD merupakan penyakit kronik yang memerlukan
pengobatan jangka panjang. Pengobatan yang dapat diberikan pada klien GERD
meliputi modifikasi gaya hidup, terapi endoskopi, terapi medikamentosa, dan
terapi komplikasi.
2. Diagnosa
keperawatan yang dapat ditegakkan pada klien dengan GERD yaitu :
a. Risiko
aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan
glotis terhadap cairan refluks.
b. Defisit
volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah /
pengeluaran yang berlebihan.
c. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
d. Nyeri
akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus.
e. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan refluks cairan ke laring dan
tenggorokan.
f. Gangguan
menelan berhubungan dengan penyempitan/striktur pada esophagus akibat gastroesofageal reflux disease.
g.
Ansietas berhubungan dengan proses
penyakit.
B.
SARAN
1. Individu
yang mengalami keluhan-keluhan refluks gastroesofagus perlu mencari pengobatan
sedini mungkin sehingga keluhan berat dan komplikasi dapat dicegah.
2. Bagi
tenaga kesehatan maupun tenaga pengajar perlu memberikan sumbangsih penelitian maupun
referensi mengenai penyakit Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD) mengingat sedikit dijumpai referensi penunjang
mengenai penyakit ini.
3. Makalah
ini dapat digunakan sebagai penunjang mahasiswa keperawatan ketika praktik di
klinik dan sebaiknya perlu disempurnakan lagi dengan referensi yang terbaru.
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo.
2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi
IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia.
Asroel, Harry.
2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas
Sumatera Utara : Fakultas Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Bestari,
Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease (GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS
Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011.
Djajapranata, Indrawan.
2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI.
Sujono, Hadi. 2002.
Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus
dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi
Penyakit Refluks Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009.
Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD) Secara Klinis. PPDS Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September -
November 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar